Dipengaruhi Dunia: Surat Untuk Jemaat Laodekia
WAHYU 3:14-22
Pernahkah anda mendengar
ungkapan atau perkataan “mau muntah rasanya.” Ungkapan seperti ini biasanya
muncul saat seseorang melihat sebuah realita atau kenyataan yang begitu
menyakitkan hati. Saat kita melihat seseorang yang kita hormati dan kagumi,
melakukan sesuatu hal yang sangat menyakitkan dan melukai hati kita, mungkin
kita bisa berkata “melihat perbuatannya ‘mau muntah rasanya.’ ”Seorang teman
yang menjadi dosen sekaligus pengamat sosial dan politik, berkata “mau muntah
rasanya mendengar ada orang yang mengklaim bahwa Indonesia adalah negara paling
toleran dalam hal agama.”
Ungkapan “mau muntah
rasanya” bukanlah ungkapan yang enak di telinga kita. Ungkapan tersebut baru
muncul dalam mulut kita, hanya jika kita dalam keadaan begitu kesal karena
berhadapan dengan sebuah realitas yang sangat tidak menyenangkan dan
menyakitkan hati kita.
Pertanyaannya sekarang
adalah pernahkah anda memikirkan, bagaimana seandainya yang berkata atau
mengungkapkan “ingin muntah rasanya” itu adalah Tuhan? Pernahkah kita
memikirkan, bagaimanakah Tuhan melihat dan menilai hidup kita? Pernahkah kita
memikirkan, jika Tuhan mengevaluasi gereja kita dan hidup kita saat ini, apakah
yang akan Tuhan katakan? Apakah yang akan kita rasakan jika seandainya Tuhan
berkata seperti ini kepada kita “melihat kondisi gereja kita, melihat kualitas jemaat
kita, melihat kesetiaan setiap kita dalam mengikut Tuhan, Tuhan berkata “saya
mau muntah rasanya”? Kita pasti terkejut dan shok mendengarnya, bukan?
Respons itulah yang barangkali muncul dalam jemaat
Laodikia, shok dan kaget, sebab dalam ay. 16 Tuhan Yesus berkata kepada mereka
“karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan
memuntahkan engkau dari mulutku.” Jika jemaat Laodikia diumamakan sebagai
makanan, maka jemaat ini telah menjadi makanan yang busuk, yang tidak enak
untuk dimakan, yang membuat perut jadi mual, sehingga pantas untuk
dimuntahkan.”
Perkataan ini sangat keras. Kalaupun Tuhan sampai
berkata seperti ini, mesti ada penyebabnya. Dan penyebabnya mestinya adalah
perkara yang serius, sehingga Tuhan sampai harus berkata sekeras itu terhadap
jemaat laodikia. Apakah persoalan dalam jemaat ini? Jika kita mengamatinya
dengan cermat, kita akan menemukan adanya dua persoalan dalam jemaat Laodikia.
A.
Persoalan Jemaat Laodekia
Ada dua
persoalan dari jemaat Laodekia. Pertama, dalam
ay. 15-16 Tuhan Yesus berkata bahwa jemaat Laodikia “tidak panas atau tidak
dingin, mereka suam-suam kuku.” Apakah yang dimaksudkan dengan istilah ini?
Apakah yang Yesus maksudkan dengan perkataan ini? Untuk mengerti apa yang
dimaksudkan Yesus kita harus sedikit mengetahui keberadaan jemaat Laodikia.
Kota Laodika
terletak diantara kota Hierapolis dan Kolose. Kota Hierapolis dikenal dengan
sumber-sumber air panasnya yang dapat menolong penduduk dari penyakit kulit.
Berbeda dengan kota Hierapolis di kota Kolose terdapat sumber mata air dingin
yang sangat jernih dan baik/sehat. Mata air ini dikenal dapat memberikan
kesejukan bagi yang haus dan dicari orang untuk kebutuhan minum.
Kota
Laodekia karena berada ditengah-tengah antara Hierapolis dan Kolose, mereka
menerima aliran air dari dua kota ini, akibatnya air di kota Laodikia menjadi
tidak panas ataupun dingin, tetapi suam-suam kuku. Air di kota ini bahkan kemudian
menjadi air yang tidak dapat diminum karena kualitasnya yang rendah.
Gambaran
kondisi air di kota Laodikia inilah yang kemudian digunakan oleh Tuhan Yesus
untuk menggambarkan kondisi keimanan mereka. Sama seperti kondisi air jemaat
Laodikia yang tidak panas dan tidak dingin, begitulah dengan jemaat Laodikia di
mata Tuhan. Mereka tidak cukup panas seperti air dikota Hierapolis untuk dapat
menolong orang yang sakit, namun disisi yang lain, mereka juga juga tidak cukup
dingin sepert air kota Kolose yang dapat digunakan untuk memberikan kesegaran
bagi orang yang haus dan kebutuhan minum bagi manusia.
Gambaran
ini, bahwa jemaat Laodikia yang seperti air yang tidak panas ataupun dingin,
mengindikasikan dua hal yang sedang terjadi. Pertama, seperti halnya air di kota Laodikia yang tidak
berkualitas, demikianlah kualitas hidup dan keimanan jemaat Laodikia dimata
Tuhan. Kualitas hidup dan keimanan mereka--bisa dikatakan--“berada dibawah
standard” sehingga tidak layak untuk dipakai Tuhan. Kedua, sama seperti air di kota Laodikia yang tidak lagi berfungsi
baik seperti air panas yang dapat memberikan kesembuhan tertentu bagi sakit
tertentu, dan juga tidak seperti air dingin di kota Kolose yang dapat berfungsi
untuk memberikan kesegaran bagi yang harus, maka jemaat Laodikia telah berubah
menjadi jemaat yang kehilangan fungsinya dalam dunia ini.
JIka kita
membaca ajaran Tuhan Yesus dalam Matius 5:13-16, kita akan melihat bahwa orang
percaya dipanggil Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia. Dalam Matius,
Yesus menggunakan metafora garam dan terang untuk menggambarkan peran orang
Kristen dalam dunia ini. Sedikit berbeda dengan Matius namun tetap pararel,
dalam kitab Wahyu, Yesus menggunakan metafora air untuk menggambarkan peran
jemaat Laodikia yang seharusnya.
Ketika
mereka dikatakan menjadi seperti air yang tidak cukup panas dan tidak cukup
dingin, itu berarti mereka telah jatuh dalam keadaan tidak lagi dapat
memberikan fungsi dan kontribusi yang seharusnya bagi dunia ini. Mereka menjadi
jemaat yang, dalam bahasa Matius, sudah mulai tidak asin lagi dan terang mereka
sudah mulai jadi redup.
Dua kondisi inilah yang membuat Tuhan merasa muak dan
ingin muntah saat melihat jemaat Laodikia. Mereka tidak lagi memiliki kualitas
yang baik dalam mengikut dan melayani Tuhan, mereka bahkah telah kehilangan
peran dan fungsinya dalam dunia ini. Pertanyaannya, apakah gereja yang mulai
kehilangan kualitas, fungsi dan panggilannya dalam mengikut dan melayani Tuhan
itu hanya terjadi dengan jemaat Laodikia?
Bagaimana dengan kekristenan di Indonesia dan di Bandung
ini? Apakah kekristenan, kehidupan dan pelayanan kita kepada Tuhan sudah
berkualitas? Apakah kita juga sudah memenuhi panggilan, peran dan dan fungsi
kita dalam dunia ini? Menjadi orang Kristen yang menggarami dan menerangi dunia,
menjadi orang Kristen yang seperti air panas yang dapat memberikan kesembuhan sepertinya
air di kota Hierapolis? dan menjadi seperti air dingin dari kota Kolose yang
menyejukan serta dibutuhkan banyak orang yang sedang dahaga dengan kebenaran? Atau
kita ini justru telah menjadi seperti jemaat Laodikia. Kualitas kita dalam
mengikut dan melayani Tuhan sangat rendah. Jangankan merenungkan Firman Tuhan
di rumah, di gerejapun kita tidak mau memberikan perhatian lebih dan tidak mau
bayar harga untuk dengar Firman Tuhan. Jangankan melayani Tuhan di luar sana,
dalam gereja saja kita tidak bisa memberikan yang terbaik. Saat beribadah kita
asal-asalan, saat melayani kita memberikan sekedarnya, tidak mau bayar harga
atau bahkan menjadi orang yang tidak mau melayani. Jika kekristenan kita
seperti ini, kita tidak beda dengan jemaat Laodikia. Itu berarti Tuhan juga
muak dan ingin muntah dengan kekristenan kita.
Persoalan kedua dalam jemaat Laodikia ada dalam ay.
17. Tuhan Yesus berkata bahwa (i) mereka ini telah memperkaya diri mereka dalam
segala hal sehingga tidak kekuarangan apa-apa, padahal kata Yesus, engkau itu miskin
dan melarat, telanjang serta buta.
Laodikia adalah adalah kota bisnis yang penting, Kota ini
dikenal sebagai tempat penyimpanan uang atau emas. Kota Laodikia juga dikenal
sebagai kota penghasil kain yang terbaik, ini membuat Laodikia menjadi “kota
textile” dimana penduduk kota ini tidak pernah kekurangan pakaian yang bagus.
Di Laodikia juga terdapat pusat pengobatan mata, dimana orang-orang yang sakit
mata berobat.
Saya yakin waktu Yesus mengutip perkataan mereka “Aku
kaya, dan aku telah memperkaya diriku dan tidak kekurangan apa-apa,” ini memang
adalah sebuah realita bahwa jemaat Laodikia secara lahiriah bertumbuh menjadi
jemaat yang kaya secara ekonomi dan mapan dalam hal kekuangan. Kondisi kota
yang maju membuat jemaat Laodikia turut menikmati kemajuan dan kemakmuran dalam
hal materi. Meskipun demikian persoalannya adalah kekayaan dan kemapanan materi
mereka ternyata tidak diiringi dengan kekayaan dan kemapanan dalam keimanan dan
kedewasaam rohani dalam Tuhan. Lebih celaka lagi, Yesus mengatakan bahwa mereka
ini tidak sadar bahwa diri mereka sebenarnya miskin, telanjang dan buta.
Hal ini sungguh ironis, mereka tidak sadar bahwa walaupun
mereka kaya, namun sesungguhnya miskin dan melarat; walaupun kelihatan
berpakaian indah, namun telanjang dihadapan Tuhan, walaupun nampak sehat, namun
sebenarnya sakit parah.
Jika kita melihat kondisi ini, kita melihat hal yang
memprihatinkan bukan. Namun, ada satu hal yang lebih memprihatinkan lagi, jika
kita membaca ay. 20 di sana dikatakan “Yesus berdiri dimuka pintu dan
mengetok,” perkataan ini mengindikasikan bahwa selama ini Yesus tidak berada
dalam jemaat Laodikia.
Sewaktu saya memikirkan Ini, ini sangat memprihatinkan
bahkan mengerikan. Di gereja dimana disana terdapat banyak kelimpahan, mungkin
disana ada berbagai fasilitas, disana ada berbagai kemewahan, namun di sana
tidak ada Tuhan. Ini kebalikan dari jemaat Smirna, mereka miskin, mereka tidak
mempunyai kekayaan yang berlimpah, mereka mungkin tidak memiliki kemewahan,
mereka tidak memiliki apa yang dimiliki jemaat Laodikia, namun Tuhan ada disana.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Orientasi hidup mereka
adalah “dunia dan mereka tidak sadar bahwa mereka adalah orang yang sudah
menjadi “duniawi.” Mengapa orientasi jemaat Laodikia jadi demikian?
Jawabannya adalah mereka terjebak untuk menjadikan “diri kita sendiri” sebagai
orientasi dan pusat hidup. Dalam ay. 17, berulang kali jemaat Laodikia
menggunakan istilah “Aku” dan orientasi pencariaan hidup mereka pada dasarnya
adalah “kebutuhanku akan materi.”
Apakah yang
akan terjadi saat kita memusatkan hidup kita pada diri sendiri dan bukan Tuhan?
Yang akan terjadi adalah (i) kita akan terus berusaha membahagiakan hidup kita
bukan? Kita akan kejar kekayaan sebanyak-banyaknya, kita akan kejar pendidikan
setinggi-tingginya, kita akan kejar kekuasaan sebesar-besarnya, kita akan kejar
segala hal yang kita yakin akan membahagiakan diri kita. (ii) Saat kita
menjadikan diri kita sebagai orientasi hidup, kita akan pernah memuliakan dan
mengtuhankan Yesus dalam hidup kita.
Tuhan Yesus
memperingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan. Kita tidak
dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada mammon (uang). Ada pepatah mengatakan “uang
itu adalah hamba yang baik namun tuan yang jahat.” Kita semua butuh uang, namun
apakah yang terjadi saat uang memperhamba kita? Kita akan jadi budaknya uang,
bekerja siang dan malam untuk uang. Semuanya ini berakar pada apa? Pada
kejatuhan kita saat menjadikan diri sendiri orientasi dan pusat hidup.
Yakobus juga
pernah memperingatkan bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan
Allah. Rasul Yohanes menegaskan bahwa murid-murid Tuhan dipanggil dan diutus
Tuhan untuk masuk kedalam dunia, artinya untuk mempengaruhi dunia. Namun apakah
akibatnya, saat yang terjadi adalah sebaliknya, justru dunia yang masuk dalam
gereja; Apakah yang akan terjadi saat system dunia, yang rusak, berdosa dan
korup masuk dalam pengelolaan gereja? Apakah yang terjadi saat materialism
masuk dalam gereja? Yang yang terjadi saat jiwa “egoism” masuk dalam kehidupan
orang percaya? Yang terjadi adalah kita menjadi seperti jemaat Laodikia.
Kita akan
mulai kehilangan kualitas kita sebagai umat Tuhan, kehilangan fungsinya sebagai
umat Tuhan, dan kehilangan sensitifitasnya atas dosa. Kita menyangka diri kita
baik-baik saja, kita menyangka diri mereka sehat, padahal kita sesungguhnya
sakit, miskin, dan telanjang.
B.
Solusi dari Persoalan Jemaat Laodekia
Dalam ay. 18,
Yesus menasehatkan supaya jemaat Laodikia membeli emas yang murni dari Tuhan
yang akan memberikan kepada mereka kekayaan sejati, supaya mereka membeli dari
Tuhan pakaian putih supaya mereka tidak lagi telanjang, dan balsam mata supaya
mereka tidak lagi buta.
Apakah
maksud Yesus disini? Tentu bukan maksud Yesus berkata bahwa ia adalah seorang
pedagang emas, baju dan belsem. Perkataan Yesus ini tidak dapat diartikan
secara harafiah. Jemaat Laodikia selama ini sudah memiliki berbagai kekayaan,
mereka punya emas, mereka mempunyai baju-baju yang bagus, dan mereka menjadi
tempat dimana orang sakit mata bisa disembuhkan. Meskipun demikian, secara
rohani mereka dalam keadaan yang sebaliknya, mereka miskin, telanjang dan buta.
Itulah sebabnya Yesus menawarkan kepada mereka kekayaan yang sejati, pakaian
yang sejati, dan obat yang sejati. Namun, untuk mendapatkannya mereka harus
datang kepada Yesus, mencari Yesus dan menjadikan Yesus sebagai sumber hidup
mereka.
Jika selama
ini yang mereka kejar dan beli adalah kekayaan dunia ini, maka sekarang Yesus
meminta supaya mereka mengejar kekayaan surgawi, jika sebelumnya mereka
mengejar dan membeli pakai-pakaian jasmani yang indah, sekarang Yesus meminta
mereka mengejar pakaian-pakaian rohani, jika selama ini mereka berusaha menjaga
kesehatan mata jasmani mereka, sekarang Yesus meminta mereka menjaga kesehatan
mata rohani mereka. Dengan kata lain, jika selama ini mereka memiliki orientasi
hidup untuk mengejar dunia, maka sekarang mereka harus berubah, yang mereka
harus kejar, cari, dan dapatkan adalah Tuhan.
Mengapa
Tuhan harus jadi yang utama? Mengapa Tuhan harus jadi prioritas? Dalam Kolose
1:16 dituliskan ‘Segala sesuatu dicipta oleh Dia dan untuk Dia.” Dalam Efesus
1:4 Paulus menegaskan bahwa kita ini didalam Kristus dipilih Allah sebelum
dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya.” Dalam
Efesus 4:16 ditegaskan Paulus bahwa Yesus adalah kepala gereja, dalam Yesuslah
semua anggota tubuh menerima pertumbuhan.
Jadi, kenapa
kita harus hidup bagi Tuhan, mengorientasikan hidup pada Tuhan, mendedikasikan
hidup pada Tuhan? Sebab kita memang dipanggil untuk HIDUP DALAM TUHAN, dan
dalam HIDUP DALAM TUHAN-lah hidup kita akan bertumbuh, berbuah dan berbahagia.
Solusi yang
kedua terdapat dalam ay. 19-20. Jemaat Laodikia diminta untuk merelakan dirinya
untuk ditegur dan membuka hatinya bagi Yesus dan untuk hidup bersama dengan
Kristus. Perhatikan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, ia bukan sekedar
mengetuk, namun berbicara. Jadi, cara Tuhan menegur adalah melalui suara-Nya,
melalui firman Tuhan.
Selama kita
menjadi jemaat yang keras hati, tidak bisa menerima teguran demi teguran firman
Tuhan, kita tidak akan pernah bisa berubah. Yesus menegaskan bahwa ia selalu
mengetuk pintu hati kita, mengapa demikian? Sebab ia bukan Allah yang
memaksakan kehendak. Ia tidak pernah berkerja dalam mengubahkan kita sendirian,
ia akan berkerja bersama-sama dengan kita. Perhatikan apa yang Yesus katakan,
jika mereka membuka hati dan hidup mereka bagi Yesus, maka Yesus akan masuk
menadapatkannya dan orang itu akan bersama-sama dengan Yesus dan Yesus
bersama-sama dengannya. Artinya, orang tersebut akan disertai dan dipimpin
hidupnya oleh Yesus.
C.
Janji Tuhan atas jemaat Laodekia
Dalam ay. 21, Tuhan berjanji bahwa
barang siapa menang, maksudnya barangsiapa taat kepada Tuhan, ia duduk
bersama-sama dengan Tuhan. Dalam Wahyu 21, gambaran yang sama digunakan untuk
memperlihatkan keberadaan kita kelak dalam langit dan bumi yang baru.
Perkataan Yesus menjadi janji sekaligus peringatan.
“Siapa berubah, siapa benar-benar dan sungguh-sungguh mengikut Yesus dan
melayani Yesus dalam hidupnya,” akan mamiliki langit dan bumi yang baru. Namun siapa
tidak berubah, siapa yang menjadi orang Kristen yang tidak sungguh-sungguh
hidup bagi Tuhan, ia tidak akan pernah memasuki langit dan bumi yang baru.
Salah satu tema sentral dalam
kitab wahyu adalah kesetiaan. Hanya orang yang setia, yang merupakan umat Tuhan
yang sejati. Hanya orang yang setia, yang akan benar-benar hidup bagi Tuhan,
mendedikasikan setiap aspek hidupnya bagi Tuhan. Dan hanya orang-orang seperti
ini yang akan hidup dalam langit dan bumi yang baru.
D.
Penutup
Menjadi
orang Kristen tidak bisa separuh-separuh. Kita tidak bisa menjadi orang Kristen
yang menginjakkan kakinya baik dalam kerajaan Allah maupun dalam kerajaan
dunia/dosa. Tentu hal ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh berkarya dalam
dunia ini. Yang saya maksudkan sengan tidak menginjakkan kaki dalam kerajaan
dunia/dosa adalah tidak hidup dengan cara, pola, dan pemikiran yang sama dengan
dunia ini.
Di sisi yang
lain, Yesus menuntut adanya komitmen total dari orang yang mau mengikut Dia.
Inilah arti “percaya” atau “iman” kepada Yesus yang dilupakan banyak orang
Kristen. Kita cenderung memahami “percaya kepada Yesus” dalam konteks menerima
sesuatu dari Tuhan. Namun percaya kepada Yesus, bukan hanya memiliki satu
aspek, yakni menerima keselamatan, namun ada aspek lain yang juga penting yakni
menyerahkan “kuasa,” “kendali” dan “totalita” hidup kita kepada Tuhan. Inilah
artinya menerima Yesus bukan saja sebagai juru selamat, namun sebagai Tuhan
dalam hidup kita.
“Siapa
Bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada
jemaat-jemaat.” Taatilah firman Tuhan, maka hidup kita akan diberkati “dunia
dan akhirat.”