Minggu, 27 Oktober 2013

Gereja Duniawai: Surat Untuk Jemaat Laodekia

Dipengaruhi Dunia: Surat Untuk Jemaat Laodekia
WAHYU 3:14-22

Pernahkah anda mendengar ungkapan atau perkataan “mau muntah rasanya.” Ungkapan seperti ini biasanya muncul saat seseorang melihat sebuah realita atau kenyataan yang begitu menyakitkan hati. Saat kita melihat seseorang yang kita hormati dan kagumi, melakukan sesuatu hal yang sangat menyakitkan dan melukai hati kita, mungkin kita bisa berkata “melihat perbuatannya ‘mau muntah rasanya.’ ”Seorang teman yang menjadi dosen sekaligus pengamat sosial dan politik, berkata “mau muntah rasanya mendengar ada orang yang mengklaim bahwa Indonesia adalah negara paling toleran dalam hal agama.”
Ungkapan “mau muntah rasanya” bukanlah ungkapan yang enak di telinga kita. Ungkapan tersebut baru muncul dalam mulut kita, hanya jika kita dalam keadaan begitu kesal karena berhadapan dengan sebuah realitas yang sangat tidak menyenangkan dan menyakitkan hati kita.
Pertanyaannya sekarang adalah pernahkah anda memikirkan, bagaimana seandainya yang berkata atau mengungkapkan “ingin muntah rasanya” itu adalah Tuhan? Pernahkah kita memikirkan, bagaimanakah Tuhan melihat dan menilai hidup kita? Pernahkah kita memikirkan, jika Tuhan mengevaluasi gereja kita dan hidup kita saat ini, apakah yang akan Tuhan katakan? Apakah yang akan kita rasakan jika seandainya Tuhan berkata seperti ini kepada kita “melihat kondisi gereja kita, melihat kualitas jemaat kita, melihat kesetiaan setiap kita dalam mengikut Tuhan, Tuhan berkata “saya mau muntah rasanya”? Kita pasti terkejut dan shok mendengarnya, bukan?
              Respons itulah yang barangkali muncul dalam jemaat Laodikia, shok dan kaget, sebab dalam ay. 16 Tuhan Yesus berkata kepada mereka “karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulutku.” Jika jemaat Laodikia diumamakan sebagai makanan, maka jemaat ini telah menjadi makanan yang busuk, yang tidak enak untuk dimakan, yang membuat perut jadi mual, sehingga pantas untuk dimuntahkan.”
              Perkataan ini sangat keras. Kalaupun Tuhan sampai berkata seperti ini, mesti ada penyebabnya. Dan penyebabnya mestinya adalah perkara yang serius, sehingga Tuhan sampai harus berkata sekeras itu terhadap jemaat laodikia. Apakah persoalan dalam jemaat ini? Jika kita mengamatinya dengan cermat, kita akan menemukan adanya dua persoalan dalam jemaat Laodikia.
A.         Persoalan Jemaat Laodekia
Ada dua persoalan dari jemaat Laodekia. Pertama, dalam ay. 15-16 Tuhan Yesus berkata bahwa jemaat Laodikia “tidak panas atau tidak dingin, mereka suam-suam kuku.” Apakah yang dimaksudkan dengan istilah ini? Apakah yang Yesus maksudkan dengan perkataan ini? Untuk mengerti apa yang dimaksudkan Yesus kita harus sedikit mengetahui keberadaan jemaat Laodikia.
Kota Laodika terletak diantara kota Hierapolis dan Kolose. Kota Hierapolis dikenal dengan sumber-sumber air panasnya yang dapat menolong penduduk dari penyakit kulit. Berbeda dengan kota Hierapolis di kota Kolose terdapat sumber mata air dingin yang sangat jernih dan baik/sehat. Mata air ini dikenal dapat memberikan kesejukan bagi yang haus dan dicari orang untuk kebutuhan minum.
Kota Laodekia karena berada ditengah-tengah antara Hierapolis dan Kolose, mereka menerima aliran air dari dua kota ini, akibatnya air di kota Laodikia menjadi tidak panas ataupun dingin, tetapi suam-suam kuku. Air di kota ini bahkan kemudian menjadi air yang tidak dapat diminum karena kualitasnya yang rendah.
Gambaran kondisi air di kota Laodikia inilah yang kemudian digunakan oleh Tuhan Yesus untuk menggambarkan kondisi keimanan mereka. Sama seperti kondisi air jemaat Laodikia yang tidak panas dan tidak dingin, begitulah dengan jemaat Laodikia di mata Tuhan. Mereka tidak cukup panas seperti air dikota Hierapolis untuk dapat menolong orang yang sakit, namun disisi yang lain, mereka juga juga tidak cukup dingin sepert air kota Kolose yang dapat digunakan untuk memberikan kesegaran bagi orang yang haus dan kebutuhan minum bagi manusia.
Gambaran ini, bahwa jemaat Laodikia yang seperti air yang tidak panas ataupun dingin, mengindikasikan dua hal yang sedang terjadi. Pertama, seperti halnya air di kota Laodikia yang tidak berkualitas, demikianlah kualitas hidup dan keimanan jemaat Laodikia dimata Tuhan. Kualitas hidup dan keimanan mereka--bisa dikatakan--“berada dibawah standard” sehingga tidak layak untuk dipakai Tuhan. Kedua, sama seperti air di kota Laodikia yang tidak lagi berfungsi baik seperti air panas yang dapat memberikan kesembuhan tertentu bagi sakit tertentu, dan juga tidak seperti air dingin di kota Kolose yang dapat berfungsi untuk memberikan kesegaran bagi yang harus, maka jemaat Laodikia telah berubah menjadi jemaat yang kehilangan fungsinya dalam dunia ini.
JIka kita membaca ajaran Tuhan Yesus dalam Matius 5:13-16, kita akan melihat bahwa orang percaya dipanggil Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia. Dalam Matius, Yesus menggunakan metafora garam dan terang untuk menggambarkan peran orang Kristen dalam dunia ini. Sedikit berbeda dengan Matius namun tetap pararel, dalam kitab Wahyu, Yesus menggunakan metafora air untuk menggambarkan peran jemaat Laodikia yang seharusnya.
Ketika mereka dikatakan menjadi seperti air yang tidak cukup panas dan tidak cukup dingin, itu berarti mereka telah jatuh dalam keadaan tidak lagi dapat memberikan fungsi dan kontribusi yang seharusnya bagi dunia ini. Mereka menjadi jemaat yang, dalam bahasa Matius, sudah mulai tidak asin lagi dan terang mereka sudah mulai jadi redup.
            Dua kondisi inilah yang membuat Tuhan merasa muak dan ingin muntah saat melihat jemaat Laodikia. Mereka tidak lagi memiliki kualitas yang baik dalam mengikut dan melayani Tuhan, mereka bahkah telah kehilangan peran dan fungsinya dalam dunia ini. Pertanyaannya, apakah gereja yang mulai kehilangan kualitas, fungsi dan panggilannya dalam mengikut dan melayani Tuhan itu hanya terjadi dengan jemaat Laodikia?
            Bagaimana dengan kekristenan di Indonesia dan di Bandung ini? Apakah kekristenan, kehidupan dan pelayanan kita kepada Tuhan sudah berkualitas? Apakah kita juga sudah memenuhi panggilan, peran dan dan fungsi kita dalam dunia ini? Menjadi orang Kristen yang menggarami dan menerangi dunia, menjadi orang Kristen yang seperti air panas yang dapat memberikan kesembuhan sepertinya air di kota Hierapolis? dan menjadi seperti air dingin dari kota Kolose yang menyejukan serta dibutuhkan banyak orang yang sedang dahaga dengan kebenaran? Atau kita ini justru telah menjadi seperti jemaat Laodikia. Kualitas kita dalam mengikut dan melayani Tuhan sangat rendah. Jangankan merenungkan Firman Tuhan di rumah, di gerejapun kita tidak mau memberikan perhatian lebih dan tidak mau bayar harga untuk dengar Firman Tuhan. Jangankan melayani Tuhan di luar sana, dalam gereja saja kita tidak bisa memberikan yang terbaik. Saat beribadah kita asal-asalan, saat melayani kita memberikan sekedarnya, tidak mau bayar harga atau bahkan menjadi orang yang tidak mau melayani. Jika kekristenan kita seperti ini, kita tidak beda dengan jemaat Laodikia. Itu berarti Tuhan juga muak dan ingin muntah dengan kekristenan kita.
Persoalan kedua dalam jemaat Laodikia ada dalam ay. 17. Tuhan Yesus berkata bahwa (i) mereka ini telah memperkaya diri mereka dalam segala hal sehingga tidak kekuarangan apa-apa, padahal kata Yesus, engkau itu miskin dan melarat, telanjang serta buta.
            Laodikia adalah adalah kota bisnis yang penting, Kota ini dikenal sebagai tempat penyimpanan uang atau emas. Kota Laodikia juga dikenal sebagai kota penghasil kain yang terbaik, ini membuat Laodikia menjadi “kota textile” dimana penduduk kota ini tidak pernah kekurangan pakaian yang bagus. Di Laodikia juga terdapat pusat pengobatan mata, dimana orang-orang yang sakit mata berobat.
            Saya yakin waktu Yesus mengutip perkataan mereka “Aku kaya, dan aku telah memperkaya diriku dan tidak kekurangan apa-apa,” ini memang adalah sebuah realita bahwa jemaat Laodikia secara lahiriah bertumbuh menjadi jemaat yang kaya secara ekonomi dan mapan dalam hal kekuangan. Kondisi kota yang maju membuat jemaat Laodikia turut menikmati kemajuan dan kemakmuran dalam hal materi. Meskipun demikian persoalannya adalah kekayaan dan kemapanan materi mereka ternyata tidak diiringi dengan kekayaan dan kemapanan dalam keimanan dan kedewasaam rohani dalam Tuhan. Lebih celaka lagi, Yesus mengatakan bahwa mereka ini tidak sadar bahwa diri mereka sebenarnya miskin, telanjang dan buta.
            Hal ini sungguh ironis, mereka tidak sadar bahwa walaupun mereka kaya, namun sesungguhnya miskin dan melarat; walaupun kelihatan berpakaian indah, namun telanjang dihadapan Tuhan, walaupun nampak sehat, namun sebenarnya sakit parah.
            Jika kita melihat kondisi ini, kita melihat hal yang memprihatinkan bukan. Namun, ada satu hal yang lebih memprihatinkan lagi, jika kita membaca ay. 20 di sana dikatakan “Yesus berdiri dimuka pintu dan mengetok,” perkataan ini mengindikasikan bahwa selama ini Yesus tidak berada dalam jemaat Laodikia.
            Sewaktu saya memikirkan Ini, ini sangat memprihatinkan bahkan mengerikan. Di gereja dimana disana terdapat banyak kelimpahan, mungkin disana ada berbagai fasilitas, disana ada berbagai kemewahan, namun di sana tidak ada Tuhan. Ini kebalikan dari jemaat Smirna, mereka miskin, mereka tidak mempunyai kekayaan yang berlimpah, mereka mungkin tidak memiliki kemewahan, mereka tidak memiliki apa yang dimiliki jemaat Laodikia, namun Tuhan ada disana.
            Mengapa hal ini bisa terjadi? Orientasi hidup mereka adalah “dunia dan mereka tidak sadar bahwa mereka adalah orang yang sudah menjadi “duniawi.” Mengapa orientasi jemaat Laodikia jadi demikian? Jawabannya adalah mereka terjebak untuk menjadikan “diri kita sendiri” sebagai orientasi dan pusat hidup. Dalam ay. 17, berulang kali jemaat Laodikia menggunakan istilah “Aku” dan orientasi pencariaan hidup mereka pada dasarnya adalah “kebutuhanku akan materi.”
Apakah yang akan terjadi saat kita memusatkan hidup kita pada diri sendiri dan bukan Tuhan? Yang akan terjadi adalah (i) kita akan terus berusaha membahagiakan hidup kita bukan? Kita akan kejar kekayaan sebanyak-banyaknya, kita akan kejar pendidikan setinggi-tingginya, kita akan kejar kekuasaan sebesar-besarnya, kita akan kejar segala hal yang kita yakin akan membahagiakan diri kita. (ii) Saat kita menjadikan diri kita sebagai orientasi hidup, kita akan pernah memuliakan dan mengtuhankan Yesus dalam hidup kita.
Tuhan Yesus memperingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan. Kita tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada mammon (uang). Ada pepatah mengatakan “uang itu adalah hamba yang baik namun tuan yang jahat.” Kita semua butuh uang, namun apakah yang terjadi saat uang memperhamba kita? Kita akan jadi budaknya uang, bekerja siang dan malam untuk uang. Semuanya ini berakar pada apa? Pada kejatuhan kita saat menjadikan diri sendiri orientasi dan pusat hidup.
Yakobus juga pernah memperingatkan bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah. Rasul Yohanes menegaskan bahwa murid-murid Tuhan dipanggil dan diutus Tuhan untuk masuk kedalam dunia, artinya untuk mempengaruhi dunia. Namun apakah akibatnya, saat yang terjadi adalah sebaliknya, justru dunia yang masuk dalam gereja; Apakah yang akan terjadi saat system dunia, yang rusak, berdosa dan korup masuk dalam pengelolaan gereja? Apakah yang terjadi saat materialism masuk dalam gereja? Yang yang terjadi saat jiwa “egoism” masuk dalam kehidupan orang percaya? Yang terjadi adalah kita menjadi seperti jemaat Laodikia.
Kita akan mulai kehilangan kualitas kita sebagai umat Tuhan, kehilangan fungsinya sebagai umat Tuhan, dan kehilangan sensitifitasnya atas dosa. Kita menyangka diri kita baik-baik saja, kita menyangka diri mereka sehat, padahal kita sesungguhnya sakit, miskin, dan telanjang.
B.         Solusi dari Persoalan Jemaat Laodekia
Dalam ay. 18, Yesus menasehatkan supaya jemaat Laodikia membeli emas yang murni dari Tuhan yang akan memberikan kepada mereka kekayaan sejati, supaya mereka membeli dari Tuhan pakaian putih supaya mereka tidak lagi telanjang, dan balsam mata supaya mereka tidak lagi buta.
Apakah maksud Yesus disini? Tentu bukan maksud Yesus berkata bahwa ia adalah seorang pedagang emas, baju dan belsem. Perkataan Yesus ini tidak dapat diartikan secara harafiah. Jemaat Laodikia selama ini sudah memiliki berbagai kekayaan, mereka punya emas, mereka mempunyai baju-baju yang bagus, dan mereka menjadi tempat dimana orang sakit mata bisa disembuhkan. Meskipun demikian, secara rohani mereka dalam keadaan yang sebaliknya, mereka miskin, telanjang dan buta. Itulah sebabnya Yesus menawarkan kepada mereka kekayaan yang sejati, pakaian yang sejati, dan obat yang sejati. Namun, untuk mendapatkannya mereka harus datang kepada Yesus, mencari Yesus dan menjadikan Yesus sebagai sumber hidup mereka.
Jika selama ini yang mereka kejar dan beli adalah kekayaan dunia ini, maka sekarang Yesus meminta supaya mereka mengejar kekayaan surgawi, jika sebelumnya mereka mengejar dan membeli pakai-pakaian jasmani yang indah, sekarang Yesus meminta mereka mengejar pakaian-pakaian rohani, jika selama ini mereka berusaha menjaga kesehatan mata jasmani mereka, sekarang Yesus meminta mereka menjaga kesehatan mata rohani mereka. Dengan kata lain, jika selama ini mereka memiliki orientasi hidup untuk mengejar dunia, maka sekarang mereka harus berubah, yang mereka harus kejar, cari, dan dapatkan adalah Tuhan.
Mengapa Tuhan harus jadi yang utama? Mengapa Tuhan harus jadi prioritas? Dalam Kolose 1:16 dituliskan ‘Segala sesuatu dicipta oleh Dia dan untuk Dia.” Dalam Efesus 1:4 Paulus menegaskan bahwa kita ini didalam Kristus dipilih Allah sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya.” Dalam Efesus 4:16 ditegaskan Paulus bahwa Yesus adalah kepala gereja, dalam Yesuslah semua anggota tubuh menerima pertumbuhan.
Jadi, kenapa kita harus hidup bagi Tuhan, mengorientasikan hidup pada Tuhan, mendedikasikan hidup pada Tuhan? Sebab kita memang dipanggil untuk HIDUP DALAM TUHAN, dan dalam HIDUP DALAM TUHAN-lah hidup kita akan bertumbuh, berbuah dan berbahagia.
Solusi yang kedua terdapat dalam ay. 19-20. Jemaat Laodikia diminta untuk merelakan dirinya untuk ditegur dan membuka hatinya bagi Yesus dan untuk hidup bersama dengan Kristus. Perhatikan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, ia bukan sekedar mengetuk, namun berbicara. Jadi, cara Tuhan menegur adalah melalui suara-Nya, melalui firman Tuhan.
Selama kita menjadi jemaat yang keras hati, tidak bisa menerima teguran demi teguran firman Tuhan, kita tidak akan pernah bisa berubah. Yesus menegaskan bahwa ia selalu mengetuk pintu hati kita, mengapa demikian? Sebab ia bukan Allah yang memaksakan kehendak. Ia tidak pernah berkerja dalam mengubahkan kita sendirian, ia akan berkerja bersama-sama dengan kita. Perhatikan apa yang Yesus katakan, jika mereka membuka hati dan hidup mereka bagi Yesus, maka Yesus akan masuk menadapatkannya dan orang itu akan bersama-sama dengan Yesus dan Yesus bersama-sama dengannya. Artinya, orang tersebut akan disertai dan dipimpin hidupnya oleh Yesus.
C.         Janji Tuhan atas jemaat Laodekia
              Dalam ay. 21, Tuhan berjanji bahwa barang siapa menang, maksudnya barangsiapa taat kepada Tuhan, ia duduk bersama-sama dengan Tuhan. Dalam Wahyu 21, gambaran yang sama digunakan untuk memperlihatkan keberadaan kita kelak dalam langit dan bumi yang baru.
            Perkataan Yesus menjadi janji sekaligus peringatan. “Siapa berubah, siapa benar-benar dan sungguh-sungguh mengikut Yesus dan melayani Yesus dalam hidupnya,” akan mamiliki langit dan bumi yang baru. Namun siapa tidak berubah, siapa yang menjadi orang Kristen yang tidak sungguh-sungguh hidup bagi Tuhan, ia tidak akan pernah memasuki langit dan bumi yang baru.
              Salah satu tema sentral dalam kitab wahyu adalah kesetiaan. Hanya orang yang setia, yang merupakan umat Tuhan yang sejati. Hanya orang yang setia, yang akan benar-benar hidup bagi Tuhan, mendedikasikan setiap aspek hidupnya bagi Tuhan. Dan hanya orang-orang seperti ini yang akan hidup dalam langit dan bumi yang baru.
D.        Penutup
Menjadi orang Kristen tidak bisa separuh-separuh. Kita tidak bisa menjadi orang Kristen yang menginjakkan kakinya baik dalam kerajaan Allah maupun dalam kerajaan dunia/dosa. Tentu hal ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh berkarya dalam dunia ini. Yang saya maksudkan sengan tidak menginjakkan kaki dalam kerajaan dunia/dosa adalah tidak hidup dengan cara, pola, dan pemikiran yang sama dengan dunia ini.
Di sisi yang lain, Yesus menuntut adanya komitmen total dari orang yang mau mengikut Dia. Inilah arti “percaya” atau “iman” kepada Yesus yang dilupakan banyak orang Kristen. Kita cenderung memahami “percaya kepada Yesus” dalam konteks menerima sesuatu dari Tuhan. Namun percaya kepada Yesus, bukan hanya memiliki satu aspek, yakni menerima keselamatan, namun ada aspek lain yang juga penting yakni menyerahkan “kuasa,” “kendali” dan “totalita” hidup kita kepada Tuhan. Inilah artinya menerima Yesus bukan saja sebagai juru selamat, namun sebagai Tuhan dalam hidup kita.
“Siapa Bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.” Taatilah firman Tuhan, maka hidup kita akan diberkati “dunia dan akhirat.”


Minggu, 20 Oktober 2013

Berani Terima Disiplin: Surat Untuk Jemaat Sardis (Wahyu 3:1-6)

"Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Sardis: Inilah firman Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati! Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati, sebab tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-Ku. Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah! Karena jikalau engkau tidak berjaga-jaga, Aku akan datang seperti pencuri dan engkau tidak tahu pada waktu manakah Aku tiba-tiba datang kepadamu. Tetapi di Sardis ada beberapa orang yang tidak mencemarkan pakaiannya; mereka akan berjalan dengan Aku dalam pakaian putih, karena mereka adalah layak untuk itu. Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan Bapa-Ku dan di hadapan para malaikat-Nya. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat."
Seorang pakar dalam bidang Perjanjian Baru yang cukup terkenal bernama R. H. Charles mengatakan dari tujuh gereja yang dikirimi surat oleh Tuhan Yesus, jemaat Sardis adalah jemaat yang dikritik atau ditegur Tuhan paling keras. Perkataan Tuhan Yesus misalnya saja “tidak ada satu pun pekerjaanmu, Aku dapati sempurna dihadapan-Ku,” memperlihatkan betapa seriusnya persoalan yang ada dalam jemaat Sardis.

Sebelum kita membahas mengenai persoalan utama jemaat Sardis, kita perlu mendiskusikan terlebih dahulu mengenai kota Sardis. Para arkeolog mengatakan kota Sardis sebenarnya adalah sebuah kota yang kaya. Kekayaan kota ini disebabkan karena kota ini menjadi pusat perdagangan. Oleh karena dalam budaya kuno, mata pencaharian utama kebanyakan adalah berdagang, maka kota-kota yang menjadi pusat perdagangan, sering kali menjadi kota-kota yang makmur.

Lalu bagaimanakah keadaan jemaat di kota ini? Walaupun tidak secara eksplisit atau tertulis dijelaskan mengenai kondisi dari jemaat di kota ini, namun kita sepertinya dapat melihat bahwa jemaat di kota ini cukup besar. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata “Aku tahu segala pekerjaanmu, engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati.” Jadi, jemaat di kota Sardis ini, menurut perkataan orang ini adalah gereja yang hidup.

Ada sebuah gereja di salah satu kota besar di Indonesia yang dinilai oleh banyak orang cukup berhasil. Banyak orang memandang demikian sebab jemaatnya cukup banyak. Satu kali ada seorang yang ingin mengetahui alasan utama dari berhasilnya gereja ini, maka dibuatlah sebuah survey untuk mengetahui rahasia keberhasilan gereja ini. Setelah survey dilakukan, akhirnya didapatilah dua kesimpulan, yakni gereja ini diminati oleh banyak orang Kristen karena 1) ada penjemputan dan pengantaran gratis baik saat orang datang maupun pulang; 2) alasan yang kedua adalah setiap minggu jemaat disediakan makanan sebelum pulang gereja. Dilihat dari hasil survey ini, walaupun gereja ini besar dan nampak hidup, namun apakah betul gereja ini adalah gereja yang hidup. Bagaimana jika acara makan-makannya dihilangkan atau tidak ada lagi penjemputan dan pengantaran, akankah jemaatnya tetap setia pada gereja ini?

Dari kisah ini kita melihat, ada  hal yang sama terjadi dengan jemaat di Sardis. Dimata orang-orang Kristen, memang gereja ini adalah gereja yang hidup. Namun masalahnya adalah dimata Tuhan ternyata penilaiannya berbeda. Tuhan berkata ‘Aku tahu segala pekerjaanmu, engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati.” Segala pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan jemaat Sardis nampaknya dimata manusia adalah pekerjaan-pekerjaan yang hebat dan luar biasa, namun dimata Tuhan ternyata itu tidak bernilai apa-apa. Dimata manusia, jemaat ini adalah jemaat yang hidup, namun dimata Tuhan, jemaat ini adalah jemaat yang mati.

Jadi, janganlah menilai gereja dan kesuksesannya sekedar menurut kaca mata manusia. Bagi manusia, gereja itu disebut sukses jika gereja itu barangkali tumbuh jadi gereja yang gedungnya besar, sistemnya rapih, keuangan atau finansialnya baik, dst. Gereja memang membutuhkan gedung, sistem dan uang, namun gereja bukanlah sekedar sebuah lembaga yang membutuhkan semua fasilitas tadi. Gereja adalah sebuah organisme, walaupun gedungnya bagus dan besar, sistem dan manajemennya baik, keuangannya kuat, namun jika jemaat, pengurusnya atau majelisnya adalah orang-orang yang hidupnya tidak kudus, maka gereja itu dimata Tuhan adalah gereja yang mati.

Menurut saya, hal inilah yang juga menjadi sumber persoalan dari jemaat Sardis. Mereka adalah jemaat yang larut dalam dosa. Tuhan Yesus berkata bahwa dalam jemaat Sardis masih ada orang-orang yang tidak mencemarkan pakaiannya. Dalam budaya Yahudi, pakaian adalah simbol dari kehidupan yang baru. Jadi, saat Tuhan Yesus berkata ada orang-orang di kota Sardis yang tidak mencemarkan pakaiannya, itu berarti dalam jemaat Sardis masih ada orang-orang tertentu yang memeliharakan kehidupan yang tetap bersih. Perkataan Tuhan Yesus ini, juga memperlihatkan bahwa dalam jemaat Sardis ada banyak orang yang tidak lagi menjaga kehidupan mereka untuk tetap kudus atau bersih dari dosa.

Pertanyaannya adalah mengapa jemaat Sardis bisa mengalami hal yang demikian? Mengapa sebuah jemaat yang begitu aktif dan dikenal hidup, namun mereka pada dasarnya adalah jemaat yang sedang mati? Ada beberapa jawaban yang mungkin menjadi jawabannya. Alasan yang pertama adalah “ketidaktegasan jemaat” terhadap dosa. Gereja Sardis sepertinya tidak berani dalam menegakkan yang namanya disiplin gereja yang benar. Akibatnya adalah pengaruh dosa dalam gereja tidak dapat dilokalisir dan kemudian dosa tertebut menulari jemaat yang lain. Ketidaktegasan gereja dalam memberikan yang namanya “disiplin gereja” atau teguran-teguran pada jemaat yang melakukan kesalahan membuat jemaat Sardis akhirnya mentoleransikan dosa.

Dalam sebuah gereja, pernah ada seorang pengurus yang melakukan dosa perselingkuhan. Oleh karena pengurus ini adalah pengurus yang dipandang sebagai tulang punggung gereja, maka tidak ada seorang pun yang berani menegur pengurus ini. Semua orang, termasuk para hamba Tuhannya “pura-pura tidak tahu” dengan dosa dari pengurus ini. Apakah akibat dari ketidakberanian gereja dalam memberikan teguran atau disiplin gereja kepada pengurus ini? Akibatnya adalah saat ada pengurus lain melakukan kesalahan, kemudian di tegur, pengurus itu berani berkata “kenapa saya ditegur dengan keras,” tetapi bapak itu, maksudnya pengurus gereja yang menjadi tulang punggung gereja tersebut, melakukan kesalahan kok tidak ada yang berani tegur." Coba lihat, ketidaktegasan gereja dalam menegur kesalahan membuat gereja kehilangan kewibawaan dalam menegur dosa, akibatnya dosa menjadi merajarela dalam gereja.

Hal yang demikian sepertinya terjadi dengan jemaat Sardis. Dan hal ini mengakibatkan jemaat Sardis, walaupun secara kegiatan tetap aktif, namun secara kerohanian dan pertumbuhan karakter merosot hebat. Mereka tidak mempunyai cukup wibawa dan kuasa untuk menegur dosa-dosa dalam jemaat, dan akibatnya secara kerohanian, moralitas dan karakter, jemaat-jemaat dalam gereja ini tidak bertumbuh.

Celakanya adalah, dimata Tuhan kondisi ini sangat buruk. Tuhan marah dengan jemaat ini. Dan Tuhan mempertingatkan jika mereka tidak bertobat, maka Allah akan menghukum mereka dengan keras. Tuhan akan membuang mereka dari muka bumi ini, artinya gereja di Kota Sardis akan musnah. Kepada orang-orang yang masih setia, yang tidak mau berkompromi dengan dosa baik itu dalam kehidupan masyarakat maupun  bergereja, Tuhan berjanji bahwa mereka akan bersama-sama dengan Kristus selamanya.

Dari apa yang terjadi dengan jemaat Sardis, kita belajar bahwa yang namanya disiplin gereja adalah hal yang penting atau utama dalam tugas pelayanan gereja. Dalam teologi reformasi bahkan ditegaskan bahwa disiplin gereja yang benar merupakan salah satu ciri dari gereja yang sejati. Jadi jika kita ingin gereja kita tetap menjadi gereja yang sejati dan tidak berubah menjadi gereja seperti di kota Sardis, kita harus mendoakan gereja kita supaya berani untuk menegakkan disiplin gereja yang benar. Bukan hanya itu jemaat juga perlu mendukung gereja saat ia mengambil keputusan untuk memberikan disiplin gereja kepada jemaat yang melakukan dosa atau kesalahan.

Selain itu, kita harus menjadi orang-orang Kristen yang mau memberi diri kita untuk didisiplinkan atau ditegur saat kita jatuh dalam sebuah kesalahan tertentu. Sekarang ini, jemaat-jemaat Kristen tumbuh menjadi jemaat yang kurang memiliki komitmen dalam gereja lokalnya, sehingga saat ia ditegur atau diberikan sanksi atau disiplin gereja, kita gampang menjadi marah, kecewa dan meninggalkan gereja. Kita sering kali merasa, di dunia ini ada banyak gereja, kalau saya tidak suka dengan gereja saya, atau kalau saya marah gara-gara ditegur, maka saya tinggal pindah gereja. Ini sebuah realitas.


Saya berharap kita tidak menjadi jemaat yang demikian, kita haruslah menjadi jemaat yang tangguh, yang selalu ingat kepada janji setianya saat diteguhkan menjadi jemaat lokal gereja kita. Bukankah saat kita menjadi anggota jemaat lokal sebuah gereja, kita selalu menyatakan kesediaan kita untuk menerima segala bentuk pengembalaan yang diberikan termasuk dalamnya disiplin gereja. 

Minggu, 13 Oktober 2013

Kesetiaan dan Kesucian: Surat Kepada Jemaat Pergamus (Wahyu 2:12-17)


12 "Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Pergamus: Inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua: 13 Aku tahu di mana engkau diam, yaitu di sana, di tempat takhta Iblis; dan engkau berpegang kepada nama-Ku, dan engkau tidak menyangkal imanmu kepada-Ku, juga tidak pada zaman Antipas, saksi-Ku, yang setia kepada-Ku, yang dibunuh di hadapan kamu, di mana Iblis diam. 14Tetapi Aku mempunyai beberapa keberatan terhadap engkau: di antaramu ada beberapa orang yang menganut ajaran Bileam, yang memberi nasihat kepada Balak untuk menyesatkan orang Israel, supaya mereka makan persembahan berhala dan berbuat zinah. 15Demikian juga ada padamu orang-orang yang berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus. 16 Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini. 17Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya."

Jemaat Pergamus dikatakan diam ditempat tahta Iblis. Apakah artinya ‘tempat tahta iblis’ disini? Kenapa jemaat Pergamus dikatakan mereka tinggal ditempat dimana iblis bertahta? Sebutan ‘tempat iblis bertahta nampaknya terkait dengan keberadaan kota Pergamus yang menjadi pusat dari penyembahan dewa-dewa Yunani sekaligus penyembahan terhadap Kaisar. Di kota inilah kuil dewa Zeus didirikan, demikian juga dengan kuil dewi Athena dan Dewa Asklepius (dewa kesembuhan), bahkan di kota ini jugalah pusat dari penyembahan terhadap Kaisar.[1] Jadi dalam kota yang sama berbagai ‘penyembahan berhala’ terjadi. Nach jemaat Pergamus tinggal ditengah-tengah tempat yang menjadi center dari berbagai penyembahan berhala. Jemaat Pergamus tinggal ditengah-tengah pusat kekafiran.. Karena alasan inilah jemaat pergamus disebut sebagai jemaat yang tinggal di tempat tahta iblis.

Keberadaan jemaat Pergamus yang tinggal di tempat centralitas penyembahan berhala bukan tanpa pergumulan. Diwaktu itu tidak ada pilihan bagi masyarakat, mereka harus mengikuti aturan atau ketetapan pemerintah. Bila pemerintah menyuruh semua masyarakat menyembah kaisar maka semua orang harus melakukan itu. Orang yang tidak mau melakukan hal itu akan dianggap pemberontak dan melawan kaisar atau negara. Bagi orang yang dianggap demikian, konsekuensinya amat berat, mereka bisa kehilangan nyawa. Jadi keberadaan jemaat Tuhan yang tinggal di kota Pergamus sebenarnya sangat beresiko, mereka tinggal ditempat paling berbahaya.

Bagian Alkitab ini mengajarkan kepada kita, salah satu sumber  penderitaan yang dialami Gereja adalah Iblis. Iblis memakai segala sesuatu, baik itu negara, masyarakat, tradisi, dosa untuk membuat orang-orang percaya akhirnya menyangkali nama Tuhan dan menyangkali iman kepercayaannya kepada Yesus.

Saya ingat sebuah film yang berjudul, End of World.  Dalam film itu digambarkan tokoh utamanya sedang melawan Lucifer yang sedang datang dalam dunia. Pergumulan dari tokoh utama ini adalah ia tidak bisa mempercayai Tuhan, mengapa? Sebab keluarganya terbantai dan terbunuh dengan tragisnya. Bagaimana mungkin Tuhan itu bisa dikatakan ada, kalau akhirnya Ia jadi seorang yang begitu menderita. Penderitaan memang bisa dipakai iblis untuk membuat anak-anak Tuhan meninggalkan Dia.

Meskipun jemaat Pergamus tinggal ditempat yang paling berhaya, meskipun jemaat Pergamus hidup dalam berbagai ancaman dan resiko tetapi Tuhan mengatakan mereka ternyata tetap berpegang pada nama Tuhan dan tidak menyangkal iman mereka. Istilah ‘tetap berpegang pada nama Tuhan’ sepertinya terkait dengan kesetiaan mereka untuk tidak menyangkali nama Yesus. Salah satu tuntutan yang diminta bagi orang-orang Kristen yang ditangkap pemerintah adalah supaya mereka menyangkali nama Yesus. Mereka dijanjikan kebebasan jika mereka mau menyangkali nama Yesus. Tetapi jemaat ini tidak mau menyangkali nama Yesus.
Istilah tetap tidak menyangkali iman, sepertinya menunjuk pada sikap mereka yang tetap mau percaya kepada Yesus walaupun mereka menyaksikan realita, bahwa orang yang tetap setia ternyata tidak mengalami pertolongan Tuhan. Bahkan sewaktu seorang yang bernama Antipas memilih setia kepada Tuhan, ia malah mati Martir, namun mereka tetap percaya kepada Tuhan.

Jika kita, sewaktu melihat, ternyata orang-orang yang setia kepada Tuhan, walaupun mereka telah dengan tekun berdoa tetapi tidak dijawab Tuhan, bagaimana respons kebanyakan kita? Pasti responsnya, kita mulai ragu dan mulai bertanya-tanya, apakah Tuhan yang saya percayai ini benar? Jemaat Pergamus tidak demikian, walaupun mereka menyaksikan, Tuhan tidak menolong Antipas sewaktu dalam penderitaannya, tetapi mereka tetap percaya kepada Tuhan.

Jemaat Pergamus ini sungguh luar biasa. Kita harus belajar dari mereka. Apa yang kita bisa pelajari.
Dalam mengikut Tuhan dibutuhkan sebuah kesetiaan. Pada umumnya kesetiaan manusia termasuk didalamnya kesetiaan orang-orang Kristen kepada Tuhan, bergantung pada keadaan. Jika kita perhatikan kehidupan orang Kristen, kesetiaan seseorang kepada Tuhan biasanya terbagi dua, pertama ada orang yang baru setia kepada Tuhan saat ia dalam keadaan baik, jika segala hal sedang lancar, jika lagi banyak rejeki dst. Tapi jika lagi ada banyak masalah, mereka sering tidak berlaku setia kepada Tuhan. Jenis orang yang kedua adalah yang sebaliknya, orang-orang yang setia kepada Tuhan waktu ada banyak masalah tetapi waktu lancar-lancar, waktu sedang merasa beruntung, segera lupa dengan Tuhan. Yang seharusnya terjadi adalah pada saat kita sedang banyak pergumulan kita seharusnya setia kepada Tuhan, maka sewaktu pergumulan kita selesai, kita harus lebih setia lagi kepada Tuhan.

Meskipun jemaat Pergamus ini punya kesetiaan yang luar biasa kepada Tuhan, tetapi satu hal yang sangat ‘signifikan’ yang mereka latidakr. Ada sesuatu yang ‘tidak bisa dibiarkan’ yang telah mereka lakukan. Apakah itu? Ada beberapa orang dalam jemaat Tuhan yang ‘menganut ajaran Bileam.’ Ajaran ‘Bileam’ mana yang dimaksudkan? Ajaran Bileam adalah nesehat yang diberikan Bileam kepada Balakh untuk menyesatkan orang Israel dengan jalan membuat mereka terlibat dengan persembahan berhala dan perbuatan zinah. Nampaknya yang dimaksudkan oleh penulis wahyu adalah ‘toleransi terhadap segala imoralitas.’ [2]

Jadi, hal yang Tuhan amat kecewa dengan jemaat Pergamus adalah karena ada beberapa orang dalam jemaat ini walaupun mereka begitu setia kepada Tuhan namun mereka terlibat dan terjerat dengan segala imoralitas. Imoralitas apakah yang Tuhan tegur dari jemaat Pergamus. Imoralitas yang dimaksudkan sepertinya terkait dengan dosa-dosa seksual, terkait dengan perzinahan-perzinahan tertentu, atau terkait dengan kecemaran-kecemaran tertentu. Memang diwaktu itu budaya Yunani-Romawi adalah budaya yang amat sarat dengan segala macam dosa-dosa dan kecemaran seksual. Toleransi dari masyarakat terhadap segala macam dosa dan kecemaran inilah yang nampaknya membuat beberapa anggota jemaat Pergamus terlibat dalam kecemaran ini juga.

Tuhan memandang kehidupan yang toleran dengan ‘pelanggaran-pelanggaran moral ini’ sebagai sesuatu yang amat serius. Oleh sebab itulah Tuhan sampai berkata, bertobatlah, jika tidak demikian Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan mmerangi mereka dengan pedang yang ada dimuluKu ini. Apakah arti dari perkataan ini? Istilah pedang terkait dengan penghukuman. Jadi Tuhan mengancam, jika jemaat ini tidak mau bertobat maka Tuhan akan datang untuk menghukum mereka.

Yang menarik adalah ‘panggilan untuk bertobat’ ternyata diserukan bukan hanya kepada beberapa jemaat yang hidup immoral tetapi juga ditujukan kepada seluruh jemaat Pergamus. Apa sebabnya? Sebab jemaat Pergamus telah bersikap toleran terhadap kelompok orang ini. Yang Allah kehendaki adalah mereka harus tegas dengan orang-orang yang hidup secara immoral tersebut. Jadi, membiarkan orang yang bersalah, bersikap toleran dengan orang yang bersalah, sama bersalahnya dengan orang yang bersalah.

Masih ingatkah kita dengan jemaat Efesus, mereka Tuhan salahkan karena mereka tidak punya kasih, Pergamus ditegur dalam hal yang sebaliknya, mereka disalahkan karena terlalu toleran dengan kesalahan jemaatnya. Dari sini kita belajar bahwa Tuhan mengkehendaki bukan saja kesetiaan tetapi kebenaran. Tuhan mengkehendaki umat-umat Tuhan bukan sekedar setia kepada Dia tetapi berpegang kepada kebenaran dengan tidak mentoleransikan dosa ataupun kecemaran-kecemaran moralitas.

Ternyata orang yang setia kepada Tuhan tidak otomatis hidupnya bebas dari ‘kehidupan yang sarat dengan dosa.’ Jemaat Pergamus dalam mengikut Tuhan telah sangat setia tetapi mereka tetap bisa jatuh dalam dosa-dosa yang berat dan bisa juga bersikap toleran dengan segala macam dosa. Makanya jangan kita merasa jika seseorang sudah setia, sudah militan, sudah sepertinya memberikan ‘segala-galanya’ untuk Tuhan maka orang tersebut pasti otomatis punya kehidupan yang suci dan saleh.

Saya pernah mendengar ada seorang suami yang begitu setia dalam melayani. Pokonya bila Pak Pendeta membutuhkan teman baik dalam pekunjungan atau pelayanan lainnya maka orang ini yang pasti dicari dan ia selalu bisa untuk melakukan pelayanan. Tetapi ternyata dirumah, ia amat berbeda dengan di gereja. Bapak ini ternyata suka memukul istrinya. Bahkan akhirnya ia meninggalkan istrinya sendiri.

Waktu saya mendengar kisah ini, saya menjadi sadar bahwa kesetiaan kepada Tuhan barulah satu aspek, aspek ini penting tetapi ada aspek lain yang harus ada pada kita yakni aspek kesucian, aspek, kehidupan yang benar, kehidupan yang bertanggung jawab dst. Dari sini kita bisa belajar bahwa kesetiaan dan kesucian adalah dua hal yang bisa jadi tidak otomatis ada bersamaan dalam diri kita. Kita harus berusaha dan berjuang supaya kedua hal ini yakni kesetiaan dan kesucian ada pada kita.

Berbicara mengenai pergumulan yang dihadapi oleh jemaat Pergamus dalam hal imoralitas dosa yang dianggap wajar oleh masyarakat, hal yang sama juga terjadi di zaman kita. Bayangkan di zaman kita ini, yang namanya nyontek, bukan saja dianggap wajar, tapi bahkan ada yang sampai disaranai oleh gurunya. Demikianlah yang saya dengar dari anak-anak sekolah yang ada di gereja saya. Realita dosa yang dianggap wajar dan biasa dapat membuat kita bersikap toleransi untuk dosa dan tolerasi untuk orang-orang yang melakukan dosa.

Tuhan berkata siapa menang ia akan diberikan manna yang tersembunyi dan batu putih yang diatasnya tertera nama batu, yang tidak diketahui oleh siapapun selain yang menerimanya. Apakah maksudnya kalimat ini?

Istilah menerima ‘manna yang tersembunyi’ sepertinya terkait dengan tradisi mengenai adanya ‘manna’ yang disimpan dalam tabut perjanjian. Manna ini disembunyikan disana untuk satu kali akan diberikan kepada orang-orang yang terhisap dalam kerajaan sang mesias. Gagasan ini hendak menyatakan bahwa kepada orang-orang yang menang, kepada orang-orang yang bertobat dari sikap teleransinya terhadap dosa, maka Tuhan akan menjadikan mereka umat-umat Allah, menjadikan mereka orang-orang yang berhak masuk kedalam ‘tempat perjamuan Tuhan,’ maksudnya masuk kedalam sorga yang mulia.

Lalu istilah batu putih menunjuk pada dua hal yakni petama tanda pembenaran dan kedua tanda masuk (tiket). Pada waktu itu batu putih biasanya dipakai sebagai sebuah tanda pembenaran seseorang yang sedang dalam pengadilan. Orang yang dibenarkan akan mendapatkan batu putih sementara itu yang yang dinyatakan salah akan mendapatkan batu hitam. Arti yang kedua dari batu putih adalah tiket. Maksudnya: orang yang bertobat tadi, orang yang mempunyai baik kesetiaan maupun kesucian-lah yang akan menerima konfirmasi iman untuk masuk dalam kerajaan sorga.

Sebuah pertanyaan yang muncul dibenak kita adalah apakah kesetiaan dan kesucian adalah cara supaya seseorang masuk sorga? Tentu bukan, kesetiaan dan kesucian bukanlah alat seseorang masuk sorga melainkan ciri dari orang-orang yang memang harus masuk sorga. Coba renungakan a) apakah kita mempunyai kesetiaan kepada Tuhan b) apakah kamu mempunyai kesuciaan?






[1] G. E. Ladd, a Commentary on The Revelation, 46.
[2] G. E. Ladd, A Commentary On The Revelation 48.

Minggu, 06 Oktober 2013

Mata Tuhan Yang Terus Mengawasi: Surat Untuk Jemaat Semirna (Wahyu 2:8-11)


8 "Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Smirna: Inilah firman dari Yang Awal dan Yang Akhir, yang telah mati dan hidup kembali: 9Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya--dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian: sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis. 10Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. 11Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua."

Dari penjelasan kitab suci kita mendapati bahwa jemaat Smirna adalah jemaat yang mengalami aniaya. Aniaya yang mereka alami dibahasakan atau dijabarkan dengan 4 istilah yakni kemiskinan, kesusahan, fitnahan dan kematian. Bila jemaat Smirna hidup dalam kemiskinan, hal ini cukup aneh sebab, kota Smirna menurut catatan sejarah adalah kota yang amat makmur, makanya sungguh mengherankan bila ternyata di kota yang makmur ini, ternyata orang-orang Kristen malah hidup melarat alias miskin. Mengapakah orang Kristen di kota Smirna ini bisa miskin, padahal kota mereka sebenarnya kaya?

Kemungkinan hal ini disebabkan karena deskriminasi dalam perekonomian yang dialami oleh jemaat Smirna. Kita harus tahu bahwa menjadi Kristen di era gereja mula-mula tidak mudah sama sekali. Bukanlah sebuah rahasia bahwa seorang Kristen bisa ditangkap, harta bendanya di sita oleh pemerintah dan tidak sedikit diantara mereka akhirnya dijual sebagai budak; atau bisa juga terjadi, ada banyak orang di kota Smirna tidak mau berdagang dengan orang-orang Kristen sebab mereka adalah orang-orang yang jujur, tidak mau berlaku curang sehingga diangap tidak bisa diajak kerja sama, terlalu kaku, tidak mau menyuap ataupun disuap. Hal inilah yang menyebabkan mereka akhirnya kehilangan banyak kesempatan untuk mendapatkan kekayaan dalam dunia ini, oleh sebab itulah mereka menjadi sangat miskin.

Jemaat ini juga dikatakan mengalami segala macam kesusahan bahkan terancam dengan kematian. Kesulitan yang dialami jemaat Smirna nampaknya juga terkait dengan orang-orang Romawi. Dalam ayat 10b dikatakan sesungguhnya iblis akan melemparkan beberapa orang diantara kamu kedalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama 10 hari. Istilah Iblis disini menunjuk pada musuh-musuh Allah yakni orang-orang Roma. Ada sebuah kemungkin dimana pemerintah Roma di zaman kepenulisan wahyu ini, mereka menuntut semua orang menyembah Kaisar sebagai Tuhan. Jemaat Tuhan di Smirna nampaknya adalah jemaat yang berani bayar harga. Resiko apapun mereka mau tanggung asal tidak melakukan sebuah penyembahan berhala. Hal inilah yang nampaknya membuat orang percaya sampai dipenjarakan.

Kesulitan yang ketiga disebabkan karena fitnahan orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi di seluruh Asia kecil sering tidak menyukai pengikut Yesus bahkan sering berlaku jahat dengan jalan menjerumuskan orang-orang Kristen ke tangan orang Roma. Orang Yahudi semasa pemerintahan Roma, mereka diijinkan untuk tidak melakukan penyembahan pada kaisar. Problemnya, ternyata ada banyak orang Yahudi ini karena ketidaksukaannya sehingga mereka melaporkan orang-orang Kristen kepada pemerintah Roma supaya ditangkap dengan dasar tidak mau menyembah kaisar. Pernah dalam catatan sejarah gereja dicatat bahwa sewaktu Polikarpus ditangkap untuk dimintai meyangkali Yesus atau dibakar, dalam catatan gereja dikatakan justru orang Yahudilah yang meminta paling keras untuk menghukum mati orang Kristen.

Dari apa yang terjadi dengan jemaat Smirna kita belajar bahwa jemaat yang benar pasti akan mengalami kesukaran dalam dunia ini. Sebuah contoh kongkrit, panggilan gereja adalah memberitakan firman dengan benar. Apakah gereja bertugas untuk membuat ceramah seputar kepemimpinan, ceramah seputar pengembangan diri, politik dst? Mungkin hal tersebut baik, namun bagi saya tidak, tugas utama gereja bukanlah hal-hal tersebut, gereja haruslah setia dalam mengabarkan injil dan setia mengajarkan firman kepada umat-umat Tuhan. Meskipun demikian, bila gereja benar-benar memfokuskan diri pada pemberitaan injil dan pengajaran firman yang benar, realitanya adalah akan timbul respon-respon yang kurang sedap/kurag enak didengar dimana gereja dianggap kuno, tidak mengikuti trend, tidak “up to date,” tidak menjawab pergumulan dst. Oleh sebab itulah, bila tidak hati-hati, gereja akan tergoda untuk tidak lagi setia pada panggilan utamanya tetapi berkompromi, berubah, bergeser mengikuti segala ‘trend’ yang ada dalam dunia ini. Alasan yang sering diungkapkan terkait dengan realita ini adalah bila gereja tetap konsisten dengan tugasnya yang seperti tadi, takutnya gereja bisa ditinggalkan oleh jemaatnya.

Selain gereja, orang percaya yang benar-benar hidup benar dalam dunia ini pasti akan juga mengalami kesukaran. Misalnya saja, seorang pekerja yang ingin benar-benar hidup sesuai kehendak Tuhan akhirnya ia bisa di musuhi teman-temannya sebab ia tidak bisa diajak kongkalikong. Seorang Mahasiswa juga begitu, karena konsisten dengan pilihannya untuk menjalani perkuliahannya dengan tanpa kompromi dengan dosa, akhirnya dibilang sok suci, munafik, dsb.

Apa yang Tuhan inginkan dari jemaat Smirna sewaktu mereka dalam penderitaan: Ada dua hal yang Tuhan inginkan dari jemaat Smirna dalam mengahadapi penderitaan mereka yakni:

Pertama, Tuhan meminta supaya jemaat ini tidak takut dengan apa yang mereka alami. Dalam ayat 3 dikatakan jangan takut terhadap apa yang engkau harus derita. Setelah berkata Aku tahu kesusahanmu, kemiskinanmu, fitnahan yang kamu alami lalu Tuhan berkata  jangan takut.

Apakah maksud dari perkataan ini? Apakah realistis, ditengah segala kesusahan, kemiskinan fitnahan dan penderitaan, Tuhan malah berkata, jangan takut. Bukankah Tuhan seharusnya berkata aku mengerti segala ketakutanmu… bukan malah perkataan jangan takut… . Untuk bisa mengerti pergumulan ini kita harus memahami dahulu arti dari istilah ‘jangan takut’ disini. Lawan dari takut adalah berani. Jadi istilah jangan takut dapat juga disejajarkan dengan istilah ‘harus berani.’ Tetapi jika istilah ‘jangan takut’ disini hanya dimenegerti dengan istilah ‘harus berani’ maka jawaban Tuhan Yesus terhadap pergumulan jemaat Smirna tetap kurang menjawab pergumulan mereka. Maksud dari perkataan jangan takut disini memiliki arti ‘berimanlah.’ Bila saya memperhatikan beberapa perkataan jangan takut dalam Alkitab, sering kali istilah ini dikontraskan dengan gagasan iman. Jadi, Tuhan mengatakan dalam menghadapi semua penderitaan itu, maka jemaat smirna harus menghadapinya dengan ‘iman,’ dengan ‘penyerahan diri yang penuh’ kepada Tuhan.

Tentu istilah beriman itu berbeda dengan ‘menyerah’ dalam pengertian ‘hopeless’ yang ditandai dengan perkataan ya udahlah… atau berkataan abis gimana lagi… dst. Tuhan tidak meminta kita dalam mengahadapi kesusahan, penderitaan, fitnahan tersebut, yang menjadi konsekuensi dari keberimanan kita, dengan ‘hopeless’ tetapi harus dengan iman. Iman itu berarti dua hal yakni a) ‘percaya’ kepada kuasa Tuhan’ yang mampu tolong mereka lepas dari penderitaan mereka b) ‘percaya kepada kedaulatan Tuhan’ dalam mengijinkan semua yang mereka alami dan menentukan sampai kapan mereka harus melalui penderitaan tersbut. Tuhan ingin dalam menghadapi penderitaan, jemaat Smirna menghadapinya dengan iman yang seperti tadi.

Hal kedua yang Tuhan dari jemaat Smirna yang sedang menderita adalah supaya jemaat ini setia sampai mati. Dalam ayat 10 bagian akhir Tuhan berkata hendaklah engkau setia sampai mati dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.

Istilah setia disini menggunakan kata ‘pistos’ yang memang punya dua nuansa arti. Nuansa pertama adalah ‘kesetiaan’ sementara itu nuansa kedua adalah ‘keberimanan.’ Jadi perkataan setialah sampai mati juga bisa berarti ‘berimanlah sampai mati.’ Jadi, ditengah-tengah segala penderitaan, penganiayaan dan fitnahan yang telah terjadi dan akan terjadi umat Tuhan di kota Smirna diminta untuk tetap percaya kepada Tuhan sampai mereka mati. Tuhan mengingatkan siapa menang, mereka tidak akan menderita oleh kematian yang kedua. Ini adalah sebuah janji sekaligus peringatan.

Kunci keberhasilan orang percaya dalam menghadapi penderitaan ataupun kesusahan dalam dunia ini sebagai konsekuensi pengikutan kita kepada Tuhan adalah dengan menjalani atau melewatinya dengan iman, dengan penyerahan diri yang penuh atau total pada Tuhan.

Sekarang mari kita melirik kepada kehidupan kita dibelakang. Kita tahu sebagai orang percaya kitapun tidak luput dari konsekuensi iman kita, yakni segala kesulitan yang akan muncul jika kita tetap setia kepada Tuhan dan tidak mau ikut-ikutan kompromi dengan ketidakbenaran. Pertanyaannya adalah apakah sewaktu kita berhadapan dengan pilihan yang beresiko kita tetap pilih Tuhan. Mungkin sewaktu kita berhadapan dengan pilihan yang tanpa resiko, kita bisa dengan mudah pilih setia pada Tuhan. Tapi jika pilihan tersebut beresiko, apakah kita tetap setia pilih Tuhan.

Sebagai contoh, saya mengenal ada seorang pengusaha alat-alat listrik. Orang ini adalah orang percaya dan ia tahu bahwa dalam menjalankan usahanya dalam dunia ini, ia mesti jujur dan tidak melakukan suap demi alasan apapun. Tetapi bisnis yang ditekuninya mengharuskan ia bersikap ‘royal’ dalam pengertian, suka ngajak makan, suka memberi hadiah-hadiah atau hal-hal tertentu lainnya supaya dia mendapatkan proyek-proyek yang besar. Ia bertanya, apakah yang harus dia lakukan? Jika ia tetap pada komitment dan prinsip hidupnya untuk tetap bisnis dengan jujur tanpa melakukan ‘suap’ terhadap instansi tertentu, pastilah ia tidak akan mendapatkan proyek-proyek besar tersebut. Jika ia tidak bisa mendapatkan proyek-proyek besar, bagaimana ia bisa hidup dan membiayai semua kebutuhan dan masa depan dari dirinya maupun anak-anaknya.

Bila kita ditempatkan dalam posisi orang ini, apakah yang akan kita lakukan? Saya yakin kebanyakan diantara kita, mungkin termasuk saya diantaranya, akan memilih untuk melakukan ‘suap’ demi mendapatkan proyek dan kita bisa mengeluarkan berbagai macam dalil untuk membenarkan  diri kita; kita mungkin akan berkata yang penting bukan kita yang mau menyuap tapi mereka yang minta disuap. Yang penting, keluarga dan masa depan anak-anak saya terjamin, dosa kan ditanggung bersama. Pertanyaannya, sebenarnya bisakah kita untuk tidak menyuap? Bisakah kita tidak kompromi dengan keadaan yang menurut kita ‘buah simala kama’?

Mungkin, hal yang harus kita pikirkan adalah mengapakah kita sering gagal dalam memilih kehendak Tuhan dalam setiap pilihan yang beresiko? Mengapa kita sering gagal dalam menanggung segala kesusahan, kerugiaan sebagai konsekuaensi kesetiaan kita pada Tuhan? Saya kira jawabannya adalah karena iman kita kurang, karena penyerahan diri kita lemah, karena ketakutan telah mengalahkan kita sehingga kita tidak bisa lagi melihat adanya ‘tangan Tuhan’ yang berdaulat yang memegang kedua tangan kita atau menggendong kita dikala kita harus mengalami menderitaan yang mucul akibat konsekuensi iman kita.

Wah… jika kita melihat pada kegagalan demi kegagalan kita dalam mengambil keputusan untuk setia pada kehendak Tuhan dalam setiap pilihan yang beresiko, hal itu menunjukkan betapa kita ini sebenarnya mempunyai iman yang lemah, betapa kita ini sebagai murid-murid Tuhan, iman kita sangat kurang. Oleh karenanya, hari ini, kita harus berani menekuk lulut kita dan mengeluarkan air mata kita sebagai tanda kita ingin bertobat dan meminta ampun untuk segala ketidaksetiaan kita dan ketidakmampuan kita untuk menang dalam setiap pertempuran iman kita dalam dunia ini.

Hal terakhir yang akan kita coba renungkan adalah bagaimana caranya supaya ketika kita ditengah-tengah segala penderitaan, kesulitan yang muncul sebagai konsekuensi iman kita, kita tetap bisa setia, tetap bisa percaya pada Tuhan sampai mati? Supaya kita tetap setia dan kuat dalam menganggung segala konsekuensi iman kita maka kita harus mengetahui dan menamkan dua hal ini dalam hati kita dan pikiran kita. Kedua hal itu adalah:

Pertama Kita harus tahu dan menanamkan dalam hati dan pikirkan kita bahwa Tuhan itu tahu akan segala derita yang dialami umatnya sebagai konsekuensi kesetiaan mereka. Dalam ayat 9 Tuhan berkata Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu… mengapa kepada jemaat yang sedang menderita ini Tuhan mengawali sapaannya dengan perkataan Aku tahu penderitaanmu, kemiskinanmu, kesusahanmu, segala fitnahan yang mereka alami? Kenapa Tuhan mengawali sapaannya dengan kalimat tadi? Sebab ini adalah kalimat yang akan menguatkan iman jemaat Semirna. Dalam segala penderitaan, kesusahan dan kesulitan, jemaat Smirna harus tahu bahwa Tuhan mengetahui segala apa yang mereka alami. Apakah artinya? Artinya walaupun mereka menderita, teraniaya dan penuh kesulitan ternyata mata Tuhan terus memandang mereka. Ini berarti segala penderitaan, kesulitan dan kesusahan yang mereka alami tidak luput dari pengawasan Tuhan.

Bila Tuhan ternyata mengawasi segala apa yang terjadi, ini berarti kapan saja, ketika keadaan sangat berbahaya, maka Tuhan akan segera campur tanggan. Tetapi hal inipun tentu sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan sendiri.

Realita bahwa Tuhan tetap mengawasi, memperhatikan apa yang terjadi, seharusnya menguatkan iman anak-anaknya, kalaupun mereka akhirnya memilih Tuhan dan akhirnya menanggung konsekuensi banyak mengalami kerugian, kesusahan dan penderitaan, tetapi apa yang terjadi tidak lepas dari pengawasan dan kontrol Tuhan, jika demikian kenapa kita harus takut dalam memilih setia pada jalan Tuhan. Kegagalan kita untuk memilih setia pada jalan Tuhan adalah karena kita gagal untuk mempercayai kehadiran, pegawasan dan kontrol Tuhan dalam setiap keadaan kita.

Kedua, kita harus tahu dan tanamkan dalam hati kita bahwa Tuhan itu menghargai segala jerih lelah mereka dalam mengikut Tuhan.  Setidaknya ada tiga hal yang Allah janjikan pada jemaat Smirna. Dalam ayat 10 bagian akhir Tuhan berkata hendaklah kamu setia sampai akhir dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. Lalu dalam ayat 11 juga dikatakan barang siapa menang ia tidak akan menderita apa-apa oleh kamatian yang kedua.

Istilah mahkota kehidupan bisa menunjuk pada dua hal yakni 1) penghargaan akan kemenangan seseorang; diwaktu itu ada sebuah kebiasaan dimana dalam sebuah perlombaan, orang yang memang akan diberikan mahkota, nah ada kemungkinan istilah mahkota kehidupan menunjuk pada ‘mahkota sejati’ yang dari Allah sendiri yang akan diberikan bagi orang-orang yang sampai akhir hayatnya memelihara iman dan kesetiaannya pada Tuhan; 2) arti yang kedua dari mahkota kehidupan menunjuk pada ‘kota sorgawi’. Di Smirna ada daerah yang disebut sebagai ‘mahkota smirna’ daerah ini adalah bagian khusus di kota ini dimana terdapat bangunan-banguan indah. Istilah Mahkota Kehidupan kemungkinan menunjuk juga pada gagasan ‘kota indah yang sejati’ yakni sorga sendiri. Bagi orang yang percaya dan setia sampai akhir hayatnya, Allah akan mengaruniakan pada mereka ‘kota yang sejati ini’ yakni sorga yang mulia.

Hal kedua yang jemaat Smirna akan dapatkan adalah mereka tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua. Gagasan ini dapat bisa membuat kita salah mengerti, kita menyangka bahwa orang percayapun akan mengalami kematian kedua namun tidak akan menderita. Istilah menderita secara harafiah memiliki arti disakiti. Ini berarti anak-anak Tuhan yang sampai akhir tetap beriman dan setia mereka tidak akan disakiti dengan kematian kedua. Istilah “oleh” lebih baik kita ganti dengan istilah ‘dengan.’ Jadi maksudnya adalah orang-orang percaya akan luput dari ‘kematian kedua’ alias penghukuman kekal alias neraka.

Perkataan Tuhan bahwa bila orang percaya tetap percaya dan setia sampai akhir akan diselamatkan adalah sebuah janji yang pasti sekaligus peringatan yang tegas dan keras. Jadi, hal kedua yang harus kita tahu dan tanamkan dalam hati dan pikiran kita adalah kesetiaan dan keberimaan kita kepada Tuhan dalam dunia ini menjadi juga bukti nyata dari keberadaan kita dalam Tuhan ataukah diluar Tuhan.

Bila kita mengaku selaku orang percaya, selaku pengikut Kristus, selaku murid-murid Tuhan yang sejati maka kita harus membuktikan hal tersebut melalui kesetiaan dan keberimanan kita sampai akhir hayat kita. Jadi, kenapa orang percaya harus menang dalam setiap pertempuran imannya? Kenapa orang percaya walaupun mengalami kesusahan, penderitaan dan berbagai-bagai kesulitan harus menang? Sebab itulah tandanya anak-anak Tuhan yang akan mewarisi atau menempati sorga yang kekal bersama Tuhan yakni orang-orang yang ditandai dengan kemenangan imannya atas segala pencobaan yang dialaminya. Jadi jangan biarkan diri kita kalah dalam berbagai pencobaan iman, jika memang kita adalah anak-anak Allah.

Surat dari Tuhan kepada jemaat Smirna sangat relevan juga untuk gereja sepanjang zaman, sebab pergumulan yang sama akan terus dihadapi orag-orang percaya, bahwa dalam mengikut Tuhan ada konsekuensi-konsekuensi yang harus kita tanggung dan jalani, entah itu kesulitan bahkan penderitaan. Meskipun penderitaan dan kesulitan mewarnai kehidupan kita sebagai konsekuensi keberimanan kita, tetapi kita harus memang atasnya. Bagaimana supaya kita menang? Ingat bahwa mata Tuhan terus mengawasi kehidupan kita, penyertaannya dan kontrolnya atas kehidupan kita tetap kuat dan akurat sepanjang zaman, oleh sebab itulah untuk menghadapi dan menjalani segala penderitaan maka kita harus menjadikan iman sebagai satu-satunya senjata kita. Janji dan peringatan Tuhan akan kehidupan kekal yang akan kita terima harusnya membuat kita lebih mawas diri dan berkomitment untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pengikut Kristus yang berkemenangan.