Minggu, 01 Desember 2013

Belajar Dari Kaum Majus


Saya sangat yakin, kebanyakan orang Kristen pernah mendengar istilah orang majus. Kisah Alkitab yang kita baca, drama natal yang kita lihat, film natal yang kita tonton, juga kotbah natal yang kita dengar, sering membicarakan tokoh yang satu ini.
Bagaimanakah orang majus seringkali digambarkan? Yang paling mencolok adalah orang majus seringkali digambarkan sebagai 3 orang ahli bintang ataupun raja. Gambaran tiga orang tersebut nampaknya diambil dari kesan yang muncul bahwa waktu orang majus tersebut bertemu dengan Yesus yang masih bayi, mereka kemudian mempersembahkan mas, kemenyan dan mur (Mat. 2:11). Kesannya adalah setiap orang membawa masing-masing satu jenis persembahan, dari sini banyak orang menyimpulkan orang majus yang menjumpai Yesus berjumlah tiga orang.[1] Beberapa kalangan tertentu juga menggambarkan orang majus sebagai ahli-ahli bintang yang identik dengan ‘peramal.’ Alasan yang dikemukakan adalah cara orang majus dalam melihat bintang yang kemudian mereka tafsirkan sebagai kelahiran sosok raja tertentu adalah model penafsiran yang biasa dimiliki oleh para peramal bintang. Gambaran ketiga yang juga sering dimunculkan adalah orang majus digambarkan sebagai para raja. Gagasan yang mengatakan bahwa orang majus adalah raja sepertinya berasal dari tafsiran Yesaya 60:3 bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu, perkataan cahaya yang terbit ditafsirkan oleh beberapa kalangan sebagai peristiwa bintang yang menyala saat kelahiran Yesus, sedangkan raja-raja yang datang dianggap sebagai orang majus.[2] Dari tafsiran inilah orang majus dipahami sebagai sosok raja.
Ketiga pandangan terhadap orang majus diatas menimbulkan persoalan. Persoalan pertama adalah mungkinkah tiga orang majus mampu menempuh perjalanan jauh dimana perjalanan tersebut sangatlah berbahaya? Tentu jawabannya adalah tidak mungkin. Namun persoalan baru muncul, jika memang orang majus tersebut bukanlah tiga orang lalu mengapa dalam natal, kita masih sering menampilkan bahwa orang majus itu hanya bertiga, bukankah hal tersebut namanya mengajarkan hal yang salah? Persoalan yang kedua adalah jika memang orang majus ini adalah para peramal bintang maka ada masalah yang akan muncul, bagaimana mungkin Allah memakai ramalan dalam memimpin orang kepada Kristus? Bukankah Allah sendiri melarang umat Tuhan meramal? Bagaimana mungkin Allah sekarang memakai ramalan? Apakah tafsiran mengenai sosok majus dalam Yesaya 60:3 bisa diterima?
Tulisan ini akan mencoba menjawab ketiga masalah di atas.  Pendekatan yang akan saya gunakan untuk menjawab persoalan di atas adalah dengan pendekatan gramatika dan konteks. Pendekatan gramatika akan mencoba menelaah istilah yang digunakan dalam alkitab terhadap tokoh yang disebut majus, sedangkan pendekatan konteks akan melihat fakta-fakta diseputar kisah orang majus.

SIAPAKAH YANG DISEBUT MAJUS ITU?
Dalam berbagai terjemahan kitab suci, istilah majus (LAI) digunakan dalam berbagai terjemahan. Misalnya saja, Revise Standard Version dan Authorised Version menggunakan kata ‘wise man,’ sementara itu New International Version dan New American Bible menggunakan kata ‘magi.’ Istilah Yunani menggunakan kata ‘magoi.’
Dalam Perjanjian Baru istilah ‘magos’ (bentuk dasar dari istilah ‘magoi’) digunakan sebagai 6 kali, empat diantaranya muncul dalam Matius 2:1,7, 16 (dalam ay.16 istilah ‘magoi’ muncul dua kali) dan 2 lagi muncul dalam Kisah Rasul 13:6,8 yang diterjemahkan sebagai tukang sihir.
Apakah arti dari istilah ‘magoi?’ Istilah ‘magoi’ memiliki 4 arti yakni a) istilah ini menunjuk pada para pengamat bintang, b) istilah tersebut juga menunjuk pada sosok tukang tenung c) istilah ini juga menunjuk pada jabatan khusus (imam) selaku peramal d) istilah ini menunjuk pada arti tukang sihir.[3] Dari keempat istilah ini nampaknya Alkitab menggunakan istilah ‘magos’ untuk menunjuk pada kalangan pertama dari 4 arti istilah diatas, yakni para ahli bintang, para pengamat bintang.
Ada dua argumentasi, mengapa istilah ‘magoi’ disini menunjuk pada ahli perbintangan. Alasan pertama adalah dalam Perjanjian Lama, ketiga kalangan yang lain yakni tukang tenung, peramal dan tukang sihir adalah orang-orang yang dipanjang sangat jahat, sehingga siapapun orangnya dalam umat Tuhan, jika berhubungan dengan ketiga kalangan ini, mereka haruslah dihukum dengan berat. Dalam Ulangan 18:10-12 dikatakan:
Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati.  Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah TUHAN, Allahmu, menghalau mereka dari hadapanmu.
Jadi adalah sesuatu yang kontradiksi jika dalam peristiwa kelahiran Yesus, Allah sekarang malah memakai salah satu dari ketiga kalangan tersebut (tukang tenung, peramal dan tukang sihir) untuk memberitakan kelahiran Kristus pada orang-orang Yahudi di kota Yerusalem. Alasan kedua adalah istilah ‘magos(-oi)’ dalam Alkitab PL berbahasa Ibrani, tidak pernah digunakan dalam tempat lain kecuali dalam Daniel 1:20; 2:10 yang menunjuk pada sosok Daniel yang dididik menjadi seorang yang berilmu atau berhikmat.[4] Saya yakin jika yang diajarkan kepada Daniel adalah okultisme, yakni sihir, tenung dan ramalan, maka Daniel pastilah lebih memilih mati dari pada mempelajarinya, sebab Daniel pasti tahu benar apa yang Tuhan perintahkan dalam kitab Ulangan tadi. Jadi jelas, orang majus yang dimaksudkan Alkitab bukanlah seperti dukun, mereka adalah kalangan ilmuan di zamannya. Mereka adalah orang-orang seperti halnya Daniel, kalangan yang dianggap dan dipandang berhikmat. Johannes Louw & Eugene A. Nida menjelaskan dengan sangat baik istilah majus, mereka mengatakan orang majus adalah ‘men of wisdom who studied the stars.’[5]
Hal kedua yang menarik untuk diteliti adalah perkataan dari timur. Kalangan majus ini, oleh Alkitab dikatakan berasal dari timur. Istilah dari timur secara harafiah memiliki arti ‘terbit,’ istilah ini sepertinya digunakan untuk menunjuk arah timur. Banyak kalangan mengartikan istilah ‘timur’ di sini sebagai daerah Babilonia. Meskipun demikian, istilah timur sebenarnya tidak jelas, memang kota Babilonia dianggap kota yang menjadi pusat dari pembelajaran  ilmu perbintangan. Namun istilah timur bisa juga menunjuk pada daerah Persia, Arab bahkan menunjuk bagian timur kota Palestina. Menurut saya, kemungkinan orang majus tersebut berasal dari timur Palestina sepertinya tidak mungkin. Mengapa demikian? sebab orang-orang Majus ini pergi ke Istana Herodes untuk menanyakan dimanakah raja Yahudi dilahirkan. Kepergian orang-orang majus ke Istana Herodes pastilah disebabkan karena mereka tidak tahu bahwa Herodes sebenarnya bukanlah orang Yahudi. Hal ini menjadi indikasi bahwa orang majus pastilah bukan berasal dari tempat diseputar Palestina namun ditempat yang cukup jauh sehingga tidak mengetahui dengan persis mengenai isu-isu politik diluar daerahnya. Oleh karenanya, hanya kemungkinan asal dari orang-orang majus tersebut adalah dari Persia, Arab ataupun dari Babilonia. Oleh karena penulis Alkitab, tidak memberikan petunjuk lain yang lebih rinci maka kita tidak bisa memastikan lebih lanjut berasal dari manakah mereka.
Hal ketiga yang akan menjadi penelaahan kita adalah apakah orang majus itu berjumlah tiga orang? Pasti tidak demikian. Istilah yang digunakan oleh alkitab adalah ‘magoi.’ Istilah ini merupakan sebuah kata benda dengan bentuk jamak. Artinya orang majus yang datang menemui Yesus berjumlah lebih dari satu orang. Meskipun disini tidak dikatakan bahwa jumlah mereka bukanlah tiga orang namun, penggunaan angka tiga memang tidak tepat. Mengapa demikian? ada beberapa alasan yakni a) orang-orang majus tersebut membawa benda-benda berharga, yakni mas, kemenyan dan mur, sehingga mereka pastilah membawa banyak orang supaya aman dalam perjalanan b) kondisi perjalanan waktu itu sangatlah rawan, era dimana Tuhan Yesus lahir adalah era dimana pemberontakan sering terjadi sehingga orang-orang majus ini pastilah akan pergi dengan membawa cukup banyak orang sehingga mereka aman dalam perjanjalan. Dua alasan ini nampaknya cukup memadai untuk menyatakan bahwa orang majus yang pergi ke Palestina tidaklah mungkin hanya tiga orang.
Hal keempat yang menarik untuk kita teliti adalah apakah orang majus adalah para raja? Sebagaimana beberapa kalangan mentafsirkannya menurut Yesaya 60:3. Perkiraan yang mengatakan orang-orang majus sebagai para raja sepertinya juga tidak tepat. Kalangan orang berilmu adalah orang-orang yang melayani atau berada dalam sebuah kerajaan namun mereka bukanlah raja. Gambaran kitab suci bagaimana mereka membawa emas, kemenyan dan mur memang menunjukan bahwa orang majus ini berasal dari kalangan terpandang misalnya saja kalangan istana. Namun tafsiran yang mengatakan bahwa orang majus ini adalah raja sepertinya tidak cocok dengan gambaran yang ditunjukann kitab suci, misalnya Herodes menyuruh orang-orang majus ini untuk kembali ke istananya jikalau mereka telah menemukan orang yang mereka cari, mungkinkah Herodes akan memperlakukan orang-orang ini demikian, jikalau orang-orang majus ini adalah para raja? Saya kira tidak mungkin.

KESIMPULAN DAN REFLEKSI
Jadi siapakah orang-orang majus ini? orang-orang majus bukanlah para penyihir, mereka adalah orang-orang berhikmat dan berilmu di zamannya yang mencari Tuhan melalui tanda alam yang dinyatakan bagi mereka. Tuhan memakai ilmu perbintangan yang mereka amati untuk membawa mereka bertemu dengan Tuhan.
Jika kita selama ini sering salah memahami orang-orang majus, maka setelah membaca artikel ini, saya berharap kita tidak lagi memahami mereka secara keliru. Oleh sebab itulah, dalam sebuah perayaan atau drama natal, jika orang-orang majus dimunculkan sebagai salah satu tokohnya, maka tokoh ini haruslah ditunjukan dengan lebih tepat yakni bukan sebagai tokoh ‘tiga sekawan,’ dan juga bukan tokoh seperti ‘dukun’ yang memegang buku seperti kitab ramal ataupun bola nasib. Ingat, mereka adalah peneliti bintang, bukan dukun.
Bila kita melihat apa yang dialami oleh orang-orang majus, kita bisa belajar beberapa hal penting yakni a) sebuah kebenaran umum (termasuk dalamnya ilmu perbintangan) adalah juga kebenaran Allah, kebenaran tersebut menyatakan keberadaan Allah secara umum, bahkan bisa mendorong manusia untuk mencari Allah dalam hidup mereka. Jadi sungguh salah, jika kita memanggap kebenaran umum atau ilmu sebagai musuh kekristenan. Alam adalah ciptaan dan milik Tuhan, oleh karenanya adalah sesuatu yang tepat, jika Allah memakai kebenaran umum mengenai alam dalam menyatakan keberadaan diri-Nya. b) kebenaran umum (termasuk dalamnya ilmu perbintangan) tidaklah memadai, sama seperti orang-orang majus selaku kalangan berilmu mau pergi mencari sang Raja Yahudi, demikianlah kalangan berilmu haruslah menyadari bahwa ilmu saja tidak cukup, kita haruslah bertemu dengan sang juru selamat secara pribadi. Saya yakin, di GKIm Hosanna ada banyak orang yang didik sebagai ilmuan. Tidak sedikit, diantara kita bergelar Sarjana, Master bahkan Doktor. Namun keilmuan tidaklah cukup, manusia memerlukan Tuhan (baca: firman Tuhan) dalam hidupnya, bukan sekedar ilmu c) Seorang berilmu bisa dipakai Allah dalam menyatakan kebenaran sesuai dengan ilmunya. Coba bayangkan apakah jadinya jika yang pergi memberitakan lahirnya juru selamat adalah para gembala domba dari Palestina? Pastilah berita mereka tidak akan didengarkan. Jangankan untuk berbicara, untuk menghadap Raja-pun barangkali tidak akan bisa. Dalam persitiwa kelahairan Yesus, Allah memakai orang-orang berilmu dari timur untuk menyatakan kehadiran sang Raja Yahudi. Oleh karena merekalah yang menyampaikan berita ini, maka tidak heran, jika seluruh kota Yerusalem menjadi gempar, bahkan Raja Herodes sekalipun, memperhitungkan kabar yang dibawa oleh orang-orang ini. Coba lihat Allah memakai orang-orang berilmu dalam rencana-Nya sesuai dengan kapasitasnya.
-- Chandra Gunawan





[1] David Hill, The Gospel of Matthew (NCBC, Grand Rapids: Eerdmans, 1972), p. 82.
[2] Bdk. Hill, Matthew, p. 82.
[3] Lih. Walter C. Kaiser Jr, dkk, Hard Saying of the Bible (Illinois: IVP, 1996), p. 353.
[4] Kaiser dkk, Hard Saying of the Bible, p. 354.
[5] Greek-English Lexicon of the New Testament (Vol 1, NY: United Bible Societies, 1989), p. 358.